Kamis, 08 September 2011

SEMUT

Cerpen IBNU HS
   
   Ini benar-benar di luar kebiasaan. Keheningan yang memantul dalam
   ruang-ruang kamar tidurnya bergetar sampai ke hatinya. Sudah menjelang
   tengah malam. Berarti sudah sekitar dua jam pula ia meringkuk di
   tempat tidurnya tanpa dapat memicingkan mata.
   Telinganya mendengar dentingan dua belas kali jam dinding di luar
   sana. Dan ia tetap terjaga. Padahal biasanya kalau ia meletakkan
   kepalanya ke bantal setiap malam tidak akan lama ia terlelap. Wahai
   Yang Maha Jaga, apa gerangan pertanda yang Kau ilhamkan padaku ini.
   Demikianlah ia membatin.
   Lalu ia bangkit dari tempat tidurnya, berjalan dan membuka pintu
   kamarnya untuk kemudian menyeret kakinya ke belakang rumah. Mengambil
   air wudhu dan kembali lagi ke kamarnya lalu mengambil kitab suci. Ia
   berharap bisa memperoleh petunjuk, hikmah, dan ketenangan dengan
   membaca kitab suci.
   Dan tangannya terhenti ketika matanya tertumbuk pada nama salah satu
   surah: An-Naml.
   Dan tiba-tiba saja ia seperti diingatkan pada sebuah peristiwa siang
   tadi menjelang Zhuhur di masjid. Sebuah peristiwa biasa. Ia membunuh
   seekor semut yang merayap di dekat sajadahnya.
   Ia tidak menyadari mengapa kejadian tadi membekas begitu kuat dan
   menimbulkan kegelisahan pada dirinya malam ini. Diletakkan kitab suci
   di sampingnya dan ia tertunduk di atas sajadahnya. Perlahan tanpa
   sadar ia terlelap. Tertidur dalam keaadan duduk.
   Ia memimpikan hari-hari yang panas dan membakar. Sendirian dan
   ketakutan. Sekelilingnya cuma kekosongan. Putih, bahkan seperti tak
   mengenal warna. Ia ada dalam ketiadaan. Tiada dalam keberadaan.
   Wahai, inikah hari pengadilan itu?
   Seribu pertanyaan memberontak dari kepalanya. Mengambang bebas memburu
   jawaban di ruang maya. Tapi cuma kekosongan juga yang menjawabnya.
   Ia menyeret kakinya terus berjalan tanpa mengenal arah (wahai,
   masihkah bernilai jauh dan dekat?).
   Dan ia tak mengetahui telah sampai di mana saat kakinya tak sanggup
   lagi menopang berat tubuhnya. Ia terjatuh dan lagi-lagi kekosongan
   yang menyangga tubuhnya.
   Tiba-tiba antara ada dan tiada ia melihat seseorang. Ia menyentuhnya
   dalam kekosongan. Tapi kekosongan meninggalkan rasa padanya (lupakah
   ia bahwa kekosongan pun merupakan sebuah keberadaan?).
   Siapa engkau? tanyanya.
   Ia tak dapat memastikan apakah orang di depannya tersenyum atau tidak.
   Begitu samar. Tapi satu yang pasti ia dapat merasakan orang tersebut
   tengah memandanginya.
   Terjemahkan saja aku sebagai kekosongan jika cuma itu yang bisa kau
   mengerti! berkata orang yang berada di depannya.
   Orang itu berpaling dan memberi isyarat untuk mengikutinya. Dan begitu
   saja kakinya melangkah mengikuti orang tersebut.
   Mau kemana kita? tanyanya setelah begitu jauh mereka berjalan.
   Orang yang berjalan di depannya menghentikan langkahnya.
   Menuju kekosongan. Jika cuma itu yang kau mengerti! katanya tanpa
   memalingkan wajahnya sama sekali.
   Orang tersebut berjalan kembali dan ia terus mengikutinya. Sedikit
   demi sedikit ia mulai menyadari betapa perjalanan ini penuh
   warna-warni.
   Ya, ia melihat warna. Tapi samar. Tidak hitam. Tidak putih. Mungkin
   abu-abu. Dan kemudian ia melihat warna lainnya.
   Ia melihat merah.
   Juga kuning.
   Juga hijau.
   Juga biru.
   Juga jingga dan ungu
   Putih dan hitam. Ah, tiba-tiba saja ia melihat semuanya jadi penuh
   dengan warna. Ia tidak lagi dihinggapi perasaan asing. Ia seperti
   mengenal tempat ini. Begitu dekat di entah.
   Orang di depannya berhenti. Tapi belum bersedia menoleh padanya.
   Abidin, kita telah sampai!
   Wahai, bagaimana ia mengetahui namaku, demikian ia membatin.
   Orang yang selama ini berjalan di depannya berpaling dan memandangnya.
   Kini ia bisa memandang dengan jelas wajah orang itu.
   Kenalkah kau dengan wajahku? tanya orang tersebut.
   Ia menjadi terkesiap. Wajah itu, bukankah itu wajahnya sendiri?
   Ya, ia melihat wajahnya sendiri. Tapi kenapa begitu murung dan tak
   bercahaya?
   Siapakah kau ini? dalam kebingungan ia bertanya.
   Akulah keadilan. Saat ini kau akan segera akan diadili atas kesalahan
   yang kau lakukan! kata orang tersebut.
   Ia terkejut mendengar ucapan orang yang wajahnya sangat mirip
   dengannya. Lebih terkejut lagi ketika ia menyadari berada di sebuah
   tempat yang teramat luas tak berbatas.
   Apa ini akherat? katanya dengan bingung.
   Orang yang menyebut dirinya sebagai keadilan menggeleng.
   Bukan. Ini masih jauh dari akherat. Tempat ini cuma segumpal darah
   dalam rongga dadamu. Di sinilah nurani bersamayam. Inilah pengadilan
   pertama sebelum engkau diadili di Yaumil Hisab, kata orang tersebut
   sambil menyuruhnya untuk duduk di kursi pesakitan.
   Pengadilan hari ini dibuka untuk menegakkan keadilan. Engkau telah
   didakwa melakukan kezaliman hari ini! kata Sang Keadilan dari tempat
   duduknya.
   Ia terkejut mendengar tuntutan tersebut. Kezaliman seperti apa yang
   dilakukannya?
   Maaf Tuan. Saya tidak merasa pernah melakukan kazaliman hari ini?
   katanya menyampaikan protes pada Sang Keadilan.
   Sang Keadilan mengetukkan palunya dan memintanya untuk tenang.
   Kau akan diberi kesempatan untuk menyampaikan keberatanmu nanti!
   katanya menukas.
   Lalu ia melihat ada yang bergerak di kejauhan. Ia sendiri masih belum
   dapat memastikan apakah itu seseorang atau sesuatu. Dan ketika sesuatu
   itu menjadi semakin dekat, barulah ia dapat menegetahui keberadaannya.
   Seekor semut!
   Sampaikan tuntutanmu! kata Sang Keadilan begitu semut tersebut telah
   tiba di dekatnya.
   Aku menuntut orang ini melakukan pembunuhan atas diriku. Orang ini
   telah menzalimiku. Dan aku menuntut adanya keadilan! begitulah ia
   menyampaikan gugatannya pada Sang Keadilan.
   Kapan dan dimana kejadiannya? tanya Sang Keadilan lagi.
   Di masjid A. Siang tadi menjelang Shalat Zhuhur!
   Sang Keadilan mempersilakan semut tersebut untuk pergi lalu kembali
   memandangnya.
   Apa yang ingin kau sampaikan!
   Ia lalu berdiri lurus-lurus dan menatap Sang Keadilan (tiba-tiba saja
   ia merasa tengah menatap dirinya sendiri).
   Aku tidak bisa menerima. Bagaimana mungkin aku dijatuhi hukuman atas
   tuduhan membunuh dan menzalimi seekor semut?
   Sang Keadilan menatap matanya lurus-lurus.
   Jadi kau ingin menyangkalnya?
   Ia menggeleng.
   Tidak. Aku memang membunuhnya!
   Lantas kenapa kau menyampaikan keberatan? tanya Sang Keadilan. Matanya
   menyorotkan kemarahan.
   Aku cuma membunuh seekor semut. Itu saja. Apa aku akan dihukum atas
   kesalahan seperti itu. Entah berapa banyak manusia yang pernah ada di
   muka bumi ini yang saling menghabisi sesamanya dan menimbulkan
   kerusakan yang lebih parah dariku !
   Apa kau merasa lebih baik dari mereka? tanya Sang Keadilan geram.
   Ia terdiam
   Tapi ia cuma seekor semut ! katanya membela diri.
   Sang Keadilan berdiri dari tempat duduknya dan mengacungkan telunjuk
   padanya.
   Siapa yang memberimu mandat untuk menghilangkan nyawa makhluk Allah
   sehingga kau merasa berhak membunuh seekor semut? katanya dengan mata
   berapi-api.
   Ia tertunduk mendengar perkataan Sang Keadilan.
   Engkau sombong dan membusungkan dada di muka bumi Allah. Ruku dan
   sujudmu sama sekali tak berbekas dan maya!
   Ia tertunduk semakin dalam mendengar ucapan Sang Keadilan.
   Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Allah tidak segan memberi
   perumpamaan bahkan pada seekor nyamuk?
   Matanya mulai basah dan meneteskan air mata.
   Tidakkah engkau mengetahui bahwa kesalahan terbesar dari Iblis adalah
   menyombongkan diri di hadapan makhluk Allah yang lainnya?
   Tubuhnya menggigil mendengarnya.
   Karena engkau sombong seperti Iblis maka engkau layak menemaninya di
   neraka! kata Sang Keadilan sambil mengetukkan palunya.
   Ia terperanjat mendengarnya. Tiba-tiba disekelilingnya menjadi gulita
   dan ia terjatuh dalam kepekatan tanpa batas.
   Begitu dalam. Ia menjerit ketakutan. Hingga kemudian ia menyadari
   bahwa ia berada di kamarnya sendiri dan masih duduk di atas selembar
   sajadah.
   Dan matanya terpaku menatap ayat suci yang terbuka di sampingnya.
   Bergetar bibirnya membaca kata-kata yang tertulis di sana. Pada Surah
   An-Naml ayat 31 ia membaca: Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku
   sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang
   berserah diri.
   Air matanya tumpah kembali dan ia bersujud di atas sajadahnya. Penuh
   sesal ia memohon ampun atas semua kesombongan, kebodohan, dan semua
   ketidak mengertiannya.
   Ia baru mengangkat kepalanya ketika telinganya mendengar Adzan Subuh
   dari corong masjid yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Saat itu ia
   melihat seekor semut merayap di dekat sajadahnya.
   
   Pontianak, 14 Oktober 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar