Kamis, 08 September 2011

SEMUT

Cerpen IBNU HS
   
   Ini benar-benar di luar kebiasaan. Keheningan yang memantul dalam
   ruang-ruang kamar tidurnya bergetar sampai ke hatinya. Sudah menjelang
   tengah malam. Berarti sudah sekitar dua jam pula ia meringkuk di
   tempat tidurnya tanpa dapat memicingkan mata.
   Telinganya mendengar dentingan dua belas kali jam dinding di luar
   sana. Dan ia tetap terjaga. Padahal biasanya kalau ia meletakkan
   kepalanya ke bantal setiap malam tidak akan lama ia terlelap. Wahai
   Yang Maha Jaga, apa gerangan pertanda yang Kau ilhamkan padaku ini.
   Demikianlah ia membatin.
   Lalu ia bangkit dari tempat tidurnya, berjalan dan membuka pintu
   kamarnya untuk kemudian menyeret kakinya ke belakang rumah. Mengambil
   air wudhu dan kembali lagi ke kamarnya lalu mengambil kitab suci. Ia
   berharap bisa memperoleh petunjuk, hikmah, dan ketenangan dengan
   membaca kitab suci.
   Dan tangannya terhenti ketika matanya tertumbuk pada nama salah satu
   surah: An-Naml.

Jomblo Phobia

Vita Lystianingsih, mahasiswa ITS


Jomblo. Ugh, aku sebal melihat (atau mendengar, atau membaca, atau merasakan) kata itu. Aku merasa jadi cowok termalang di dunia kalau aku mendengarnya. Bikin aku merasa negatif. Yah, aku sih lebih suka kata ’sendiri’ atau ’single’ untuk menjelaskan keadaan diriku ini. Kesannya lebih positif.

Sama sebalnya kalau ketemu orang-orang yang menanyakan pacarku. Apa nggak ada pertanyaan lain? Menyebalkan. Menyakitkan, bahkan. Apa mereka nggak tahu rasanya dua kali ditolak cewek?

Pengalaman pertama, di masa aku SMA, ditolak seorang gadis bernama Jelita (dia memang secantik namanya) pada suatu sore sepulang les Inggris setelah aku mengantarkan dia ke rumahnya. Sia-sia pendekatan yang kulakukan. Meneleponnya, mengantarkannya, ah, aku kecewa. Padahal, aku sudah cukup dekat dengan keluarganya (apalagi ibunya sahabat lama ibuku, dan kakakknya sekelas denganku). Beberapa minggu kemudian, aku bertemu dengannya di pameran buku, menggandeng seseorang (kekasihnya?), kakak kelasku di SMP.

Penolakan kedua menimpaku di tahun terakhir SMA. Yang menolak, ya Jelita juga! Huhh, memalukan sekali ditolak orang yang sama. Ternyata dia memang tidak pernah tertarik padaku, tidak sedikitpun.

Aku dan Lucifer - Sayap Imaji

Entah bagaimana aku bisa sampai di sini. Sebuah ruang kosong yang belum pernah dijamah oleh siapapun sebelumnya. Ruang ini sama sekali belum pernah terdeteksi atau didefinisikan. Nampaknya ia adalah sesuatu di luar hitam putihnya dunia, sesuatu di antara jangkauan dua buah pilihan. Ini adalah sebuah tempat yang tidak pernah dijanjikan, tanpa hadiah atau hukuman. Alternatif ketiga selain benar dan salah, ya dan tidak, baik dan buruk, harus dan jangan, panas dan dingin, positif dan negatif, dan semua pilihan yang menjebak lainnya. Ruang ini adalah sebuah kenetralan sejati yang tidak terdistrosi oleh keduanya dan berada di luar jebakan takdir. Ruang ini merupakan sisi yang tidak pernah ada dari sebuah koin yang dilemparkan ke udara.

Setelah beberapa lama mengembara dalam kesendirian tanpa sekat ini, aku bertemu dengannya. Ia adalah Lucifer, sang oposan abadi tuhan. Wajahnya terlihat berbeda dengan apa yang selalu di gambarkan. Tidak ada pancaran kekuatan dari kedua belah matanya, yang ada hanya kegalauan yang kelam dan menyisakan pekatnya hitam yang menegasikan segalanya.

Ia lalu berkeluh kesah tentang sepak terjangnya selama ini yang ternyata hanya jadi bulan-bulanan tuhan dan penghuni kerajaan surga lainnya. Ia mengeluhkan tentang bagaimana tuhan mengkorup semua nilai-nilai kebaikan dan menyisakan nilai-nilai lainnya kepada dirinya, kepada Lucifer, kepada iblis, kepada setan dan semua zat-zat terbuang penghuni kerak neraka jahanam lainnya.

Hari Kemerdekaan

Oleh Hersen Setyo Nugroho
Penulis adalah mahasiswa Univ. Merdeka Malang

Orang tua Dewi tidak setuju anaknya pacaran dengan Ridho. Karena Ridho hitam, rambutnya panjang, dan tidak punya skill apa pun.

"Apa yang kamu harapkan dari pria seperti dia?" Begitu tanya ibu Dewi suatu ketika.

Ridho tidak pernah selesai sekolah SMP di sebuah daerah di Sukun, bagian selatan kota Malang. Bukannya tak mau sekolah, tapi dia lebih sibuk membantu ayahnya kerja di sebuah rumah ternak milik tetangga.

Waktunya bekerja hampir seharian. Jam satu dini hari dia harus bangun, memberi makan dan minum ayam ternak, tidur sebentar. Menjelang jam enam pagi, dia kembali melakukan kegiatan serupa.

Setelah sekolah, dia ke pusat kota untuk membeli pakan dan vaksin. Sebelum jam tujuh malam, dia membersihkan kandang dan memberi makan ayam ternak. Pekerjaan itu dilakukan setiap hari. Tanpa waktu libur!